Assalamualaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh, Salam Sejahtera, Om Swastyastu Om, Namo Buddhaya, Salam
Kebajikan, dan Selamat pagi, yang saya hormati:
Yth. Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Universitas Negeri Surabaya, Prof. Dr. H. Haris Supratno dan anggota,
Yth. Ketua Senat Akademik Universitas Negeri Surabaya, Prof. Dr. H. Setya Yuwana, M.A., dan anggota,
Yth. Rektor Universitas Negeri Surabaya, Prof. Dr. Nurhasan, M.Kes
Yth. Wakil Rektor Selingkung Unesa
Yth. Direktur, Dekan dan Ketua Lembaga, dan Kepala Badan Selingkung Unesa
Yth. Para Profesor Unesa
Yth. Wakil Dekan, Ketua Koordinator Program Studi/Ketua Laboratorium Selingkung Unesa
Yth. Kasubdit dan Kasi Selingkung Unesa
Yth. Sivitas Akademika Unesa
Yth. Hadirin tamu undangan yang berbahagia dan dirahmati oleh Allah SWT,
Puji
Syukur Alhamdulillah, mari kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Esa, yang telah menganugerahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya, sehingga kita bisa hadir pada acara hari ini dalam keadaan
sehat wal’afiat. Sungguh suatu penghormatan dan penghargaan yang sangat
besar bagi saya karena saya diberi kepercayaan untuk mempresentasikan
Orasi Ilmiah Berkenaan dengan Penerimaan Jabatan Profesor saya dalam
Bidang Pendidikan Lingkungan Pada Program study Pendidikan
Geografi-Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya.
Untuk itu, dengan penuh kerendahan hati, ijinkan saya menyampaikan
orasi ilmiah ini dengan judul Esensi Dan Peranan Pendidikan Lingkungan
Dalam Mitigasi Bencana Alam Serta Gagasan Pengembangannya.
Pengertian, Kontruks, dan Materi Pendidikan Lingkungan Para hadirin yang kami muliakan Menurut
Environmental Protection Agency, Amerika Serikat disebutkan bahwa
“Environmental education is a process that allows individuals to explore
environmental issues, engage in problem solving, and take action to
improve the environment. As a result, individuals develop a deeper
understanding of environmental issues and have the skills to make
informed and responsible decisions” (Pendidikan lingkungan adalah proses
yang memungkinkan individu untuk mengeksplorasi masalah lingkungan,
terlibat dalam pemecahan masalah, dan mengambil tindakan untuk
memperbaiki lingkungan. Akibatnya, individu mengembangkan pemahaman yang
lebih dalam tentang masalah lingkungan dan memiliki keterampilan untuk
membuat keputusan yang terinformasi dan bertanggung jawab)
(Environmental Protection Agency, (EPA) United States ,
https://www.epa.gov/education/what-environmental-education Last updated
on July 28, 2022). Esensi pendidikan lingkungan terdiri dari dimensi
subyek materi, dimensi obyek pendididikan, dan dimensi letak pelaksanaan
pendidikan lingkungan. Secara 3 dimensi esensi pendidikan lingkungan
disajikan di gambar 2 berikut.
Gambar 1. Kontruksi Pendidikan lingkungan
Pada
kontruks pendidikan lingkungan yang seperti gambar 1, Ketiga dimensi
tersebut saling mengkait dan merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Pada dimensi subyek materi terkandung ontologis dari
substansi pendidikan lingkungan. Pada dimensi obyek pendidikan sebagai
bagian epistimologi pendidikan lingkungan berisi tentang kurikulum,
model atau pendekatan pendidikan lingkungan, media/sumber belajar
pendidikan lingkungan, evaluasi yang dapat digunakan dalam pendidikan
lingkunga, sarana dan prasarana pendidikan lingkungan, serta berisi
tentang tenaga pendidi/guru/dosen/atau tutor dalam memberikan materi
pendidikan lingkungan. Kemudian, pada dimensi lokasi penerapan
pendidikan lingkungan maka hal ini mengandung makna aksiologis dimana
pendidikan lingkungan dapat diterapkan. Lokasi penerapan pendidikan
dapat dilakukan di sekolah dan atau di luar sekolah. Dengan demikian,
pelaksanaan pendidikan dapat diterapkan pada berbagai jenjang
pendidikan, Pendidikan lingkungan dapat diterapkan di luar sekolah
umpanya pendidikan di lembaga masyarakat atau di lingkungan keluarga.
Adapun materi-materi pendidikan lingkungan hidup meliputi : 1. Kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan dan tantangan lingkungan 2. Pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan dan tantangan lingkungan 3. Sikap peduli lingkungan dan motivasi untuk meningkatkan atau mempertahankan kualitas lingkungan 4. Keterampilan untuk mengidentifikasi dan membantu menyelesaikan tantangan lingkungan 5. Partisipasi dalam kegiatan yang mengarah pada penyelesaian tantangan lingkungan
Terdapatnya Interseksi substansi Materi Lingkungan pada Pendidikan Lingkungan-dan Pendidikan Geografi serta Pendidikan IPS
Para hadirin yang kami muliakan
Memperhatikan
perkembangan berbagai ilmu bahwa berbagai ilmu sekarang ini cenderung
sudah berkembang pada posisi transdispliner. Artinya posisi ilmu itu
sekarang ini akan dipandang dalam konteks pemanfaatannya. Apabila
ditinjauan dari sudut pandang pemanfaatan keilmuan antara Pendidikan
Geografi, Pendidikan IPS dan pendidikan lingkungan maka posisi ilmu
lingkungan terdapat di interseksktion ketiga kelimuan tersebut. Ke-tiga
study tersebut membahas materi study yang sama yaitu lingkungan.
Pada
program pendidikan Geografi yang tujuannya mencetak guru Geografi, maka
pada waktu membahas ciri pokok pendekatan Geografi dalam memecahkan
masalah dengan menggunakan pendekatan ecological/kelingkungan.
Disebutkan oleh Hadi Sabari Yunus dalam sarasehan Forum Pimpinan
Pendidikantinggi Geografi 18-19 Januari 2008, di Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta bahwa Fitrah Geografi dengan Tiga
Pendekatan Utama (Spacial, Ecological, dan Regional Complexs
Approuched). Kemudian, apabila mengacu pendapat Sarah L Holloway et.all
(2006) bahwa lingkungan menjadi kunci seseorang untuk mempelajari
Geografi. Selanjutnya dalam tulisan Noel Castree, David Demeritt And
Diana Liverman (2009) disebutkan bahwa setelah perang dunia ke dua,
secara spesik muncul bagian dari ilmu Geografi yaitu Environmental
Geography. Geografi lingkungan disebutkan sebagai disiplin ilmu ‘middle
ground” Bahkan dijelaskan pula di bagian pembahasannya oleh Danish
Mustafa bahwa lingkup bahasannya dalam Environment Geography termasuk
juga Natural Hazard (Bencana Alam).
Gambar 2. Environmental Geography sebagai disiplin ‘middle ground” Sumber
: Noel Castree, David Demeritt And Diana Liverman. 2009. A Companion to
Environmental Geography. United Kingdom : A John Wiley & Sons Ltd,
Publication. Halaman
Selanjutnya, pada program Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial bahwa berdasarkan standart pendidikan nomor 21 tahun
2016 dicantumkan bahwa materi lingkungan menjadi salah satu scope
pendidikan ilmu pengetahuan social. Dengan demikian lingkungan dalam
PIPS dapat berfungsi sebagai platform untuk mengintegrasikan materi
ilmu-ilmu social. Secara diagramatis bentuk irisan atau interseksi
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut
Gambar
3. Interseksi Materi Lingkungan pada Pendidikan lingkungan dan
Pendidikan Geografi serta Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Dengan
demikian, secara substansial bahwa lingkunganmenjadi obyek dan berperan
penting dalam ketiga keilmuan tersebut yaitu Pendidikan Lingkungan,
Pendidikan Geografi, dan pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Bagaimana kondisi Pendidikan Lingkungan baik di tingkat international, Nasional ataupun Lingkungan Unesa yang kita cintai ?
Bapak/ibu para hadirin yang saya muliakan. Kondisi
pendidikan lingkungan mengalami dinamika sesuai perubahan kondisi
factor penyebab terjadi dan peristiwa yang mengiringinya. Dinamika Pendidikan Lingkungan di Lingkup International
Keberadaan
Pendidikan lingkungan di tingkat international sebetulnya telah lama
berlangsung yaitu Tahun 1972, tepatnya tanggal 5-16 Juni 1972 waktu
diadakan Konferensi PBB tentang lingkungan di Stockholm. Pada Konferensi
tersebut dihadiri oleh wakil 110 negara yang mempunyai rasa
keprihatinan terhadap degradasi lingkungan. Deklarasi Stockholm
merupakan suatu legitimasi dasar penanganan hukum tentang penanganan
lingkungan hidup bagi negara-negara yang berkumpul di Stockholm. Dalam
Konferensi PBB di Stockholm disepakati beberapa hal, yaitu:
1.
Prinsip-prinsip yang harus digunakan dalam mengelola lingkungan hidup
di masa depan melalui penerapan hukum lingkungan internasional; 2. Rencana aksi, yang mencakup perencanaan dalam hal pemukiman, pengelolaan sumber daya alam, pengendalian pencemaran lingkungan, pendidikan serta informasi mengenai lingkungan hidup; 3.
Dibentuknya United Nations Environment Program (UNEP), yaitu badan PBB
yang menangani program lingkungan da berpusat di Nairobi,Kenya, Afrika.
Kemudian,
pada tahun 1975, sebuah lokakarya internasional tentang Pendidikan
Lingkungan Hidup diadakan di Beograd, Jugoslavia. Pada pertemuan
tersebut dihasilkan pernyataan antar negara peserta mengenai Pendidikan
Lingkungan Hidup yang dikenal sebagai “The Belgrade Charter-a Global
Framework for Environmental Education”. Secara ringkas tujuan pendidikan
lingkungan hidup yang dirumuskan dalam Piagam Belgrade tersebut adalah
sebagai berikut.
1.
Meningkatkan kesadaran dan perhatian terhadap keterkaitan di bidang
ekonomi,sosial, politik serta ekologi, baik di daerah perkotaan maupun
pedesaan. 2. Memberi kesempatan bagi setiap orang untuk
mendapatkan pengetahuan,keterampilan, sikap/perilaku, motivasi, dan
komitmen yang diperlukan untukbekerja secara individu dan kolektif untuk
menyelesaikan masalah lingkungan saat ini dan mencegah munculnya
masalah baru. 3. Menciptakan satu kesatuan pola tingkah laku baru
bagi individu, kelompok-kelompok dan masyarakat terhadap lingkungan
hidup.
Kemudian tanggal 14-26
Oktober 1977 di Tbilisi, Geogia (USSR) diadakan Konferensi pertama
antarnegara tentang pendidikan lingkungan hidup yang diselenggarakan
oleh the United Nations Education Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) bekerja sama dengan UNEP. Pada konferensi tersebut dihasilkan
tentang Deklarasi Tbilisi yang berisi rekomendasi kerangka, prinsip, dan
pedoman bidang pendidikan lingkunganhidup di semua tingkatan baik
lokal, nasional, regional, dan internasional dan berlanjut untuk semua
kelompok umur baik di dalam maupun di luar sistem pendidikan formal.
Faktor Pendidikan Dalam Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan
Para hadirin yang kami muliakan Paradigma
lingkungan yang lama memandang faktor ekonomi yang dianggap sebagai
penyebab turunnya kualitas lingkungan atau kerusakan lingkungan,
sehingga pada saat itu penurunan atau kerusakan lingkungan didekati
dengan menyelesaikan factor ekonomi saja. Pada saat itu memang dunia
lagi dilanda krisis ekonomi. Namun setelah selesainya krisis ekonomi,
nampaknya permasalahan lingkungan tetap dan cenderung meningkat. Dengan
demikian, beberapa ahli lingkungan mengevaluasi mencari factor lain yang
mempengaruhi terjadinya permasalahan lingkungan. Pada tahun 2010
salah satu pakar lingkungan, Dulap Rieley E dan van Liere menyusun
Paradigma Baru lingkungan. Dalam paradigma baru lingkungan, dia
memandang penyebab kerusakan lingkungan bukan hanya karena factor
ekonomi semata, namun juga dianalisis factor social dan budaya termasuk
dalam hal ini factor pendidikan juga diperhatikan. Secara diagramatis paradigma baru lingkungan disajikan dalam gambar 4 berikut.
Gambar 4. Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan
Untuk
menjelaskan paradigma baru tersebut diberikan contoh terjadinya
perusakan atau penjarahan hutan. Dalam contoh kasus kerusakan hutan yang
dahulunya diasumsikan hanya disebabkan kondisi ekonomi masyarakat yang
tinggal ditepi hutan, kemudian karena desakan ekonomi maka akhirnya
mereka merambah hutan. Asumsi awal tersebut terbantahkan, tatkala telah
selesainya krisis ekonomi. Terjadinya kerusakan hutan yang disebabkan
bukan karena faktor ekonomi, semata namun karena adanya faktor lain
yaitu sosial dan budaya. Dalam paradigma baru pengelolaan lingkungan
ditambahkan dimensi social-cultural. Dalam dimensi sosial budaya
mengandung pula pendidikan yang dimiliki oleh setiap manusia. Kondisi
sosial dan budaya serta pendidikan tinggi diharapkan sejalan dengan
perilaku lebih ramah terhadap lingkungannya, bukan sebaliknya. Asumsi
yang dibangun jika perambah hutan itu kondisi sosial-budaya dan
pendidikan rendah, maka kemampuan teknologi mereka untuk menebang kayu
di hutan hanya menggunakan alat sederhana dan hasilnya mungkin satu hari
hanya dapat beberapa pohon atau kurang dari 10 pohon/orang. Namun jika
perambah hutan tersebut kaya/bermodal besar, teknologinya tinggi,
pandai maka hasil menebang kayu di hutan dalam satu harinya dapat
berpuluh-puluh pohon.
Dinamika Pendidikan Lingkungan di Lingkup Nasional Para hadirin yang saya muliakan Setelah
kita mengetahui perkembangn pendidikan lingkungan di dunia, maka
bagaimana tentang perkembangan pendidikan lingkungan di Indonesia ?
Sejarah pendidikan lingkungan di Indonesia dimulai tahun 1975 dengan
penyelenggaraan PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup) di Indonesia yang
dilakukan pertama kali oleh Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP)
Jakarta, (UNJ sekarang). Tahun 1977/1978 rintisan Garis-garis Besar
Program Pengajaran Lingkungan Hidup diujicobakan di 15 Sekolah Dasar
Jakarta. Pada tahun 1979 di bawah koordinasi Kantor Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Meneg PPLH) dibentuk Pusat
Studi Lingkungan (PSL) di berbagai perguruan tinggi negeri (termasuk di
IKIP Surabaya/UNESA) dan swasta. Perkembangan di tahun 1984 dengan
ditetapkan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Departeman Pendidikan Nasional (Ditjen Dikdasmen Depdiknas) bahwa
penyampaian mata ajar tentang kependudukan dan lingkungan hidup secara
integratif dituangkan dalam kurikulum dengan memasukan materi
kependudukan dan LH ke dalam semua mata pelajaran pada tingkat menengah
umum dan kejuruan. Langkah ini tergolong maju, sebab pada saat itu
dirasakan terjadinya degradasi lingkungan di Indonesia telah terjadi
dimana-mana. Tahun 1989/1990 hingga 2007, Ditjen Dikdasmen Depdiknas,
melalui Proyek Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH)
melaksanakan program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Pada
tanggal 19 Februari 2004 Kebijakan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)
telah disepakati oleh 4 (empat) departemen yaitu Kementerian Negara
Lingkungan Hidup (KNLH), Departemen Pendidikan Nasional, Departemen
Agama dan Departemen Dalam Negeri. Pada tahun 2006 Kementerian
Lingkungan Hidup mengembangkan program pendidikan lingkungan hidup pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah melalui Program ADIWIYATA. Program
ini dilaksanakan di 10 sekolah di Pulau Jawa sebagai sekolah model
dengan melibatkan perguruan tinggi dan LSM yang bergerak di bidang
Pendidikan Lingkungan Hidup. Program Sekolah Adiwiyata ini bersifat
sukarela. Artinya sekolah yang berkehendak dalam program sekolah
adiwiyata dipersilahkan, namun bagi sekolah yang tidak berkehendak maka
tidak dipaksakan untuk mengikuti.
Peranan Pendidikan Lingkungan Dalam Mitigasi Bencana Alam Para hadirin yang kami hormati Dalam
filsafat ilmu jika kita membincangkan peran suatu ilmu, maka kita
membincangkan aksiologis ilmu tersebut. Suatu ilmu pastinya mengandung
selain ontologis, epistimologis juga aksiologis. Dengan demikian,
terkait ilmu pendidikan lingkungan, maka untuk mengetahui
peran/aksiologis ilmu pendidikan lingkungan dapat pula diajukan
pertanyaan. “Mengapa pendidikan lingkungan itu sangat diperlukan? Apa
peranan Pendidikan Lingkungan?” Jawaban singkat yang mendasari
diperlukannya pendidikan lingkungan karena ALAM SEMESTA YANG KITA HUNI
SEKARANG INI sering terjadi bencana, kerusakan. Kesemuanya petaka atau
kerusakan lingkungan tersebut didominasi atau berasal dari sikap dan
perilaku manusia yang semakin tidak sustainable terhadap lingkungannya.
Oleh sebab itu pendidikan lingkungan diharapkan dapat menjadikan manusia
pandai dan bijaksana, bersikap ramah, dan terampil dalam menjaga
sustainableitas lingkungannya. Melalui pendidikan lingkungan, kita
berharap manusia yang bermental frontier sudah tidak ada di bumi ini.
Manusia yang tinggal adalah manusia yang bersikap sustainable
development. Bencana banjir, bencana tanah longsor, intrusi air laut,
bencana kebakaran hutan yang sekarang sering terjadi adalah contoh
akibat perilaku manusia yang tidak ramah dengan lingkungannya.
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional tahun 2022
diketahui bahwa bencana akibat dominasi ulah dan perilaku manusia atau
disebut bersifat antropocentris yaitu bahwa banjir menduduki peringkat
tertinggi kejadinnya yaitu 1.037 kejadian, cuaca ekstrem 842, tanah
longsor 465 kejadian, Kebakaran hutan 234, Gelombang pasang dan abrasi
21 dan kekeringan 4 kejadian. Selain bencana alam akibat ulah dan
perilaku manusia, Indonesia mempunyai potensi bawaan mengalami bencana
alam akibat posisi geologis, astronomis dan geografis. Terjadinya
bencana seperti Gempa bumi, Tsunami, gunung Meletus dan bencana berbagai
jenis angin adalah konsekuensi Indonesia dengan posisi tersebut. Menurut
catatan Badan Nasional Penaggulangan Bencana Indonesia bahwa data
peringkat terjadinya bencana apabila Indonesia dibandingkan negara
terdampak bencana alam adalah sebagai berikut
1.
Bencana alam tsunami; Dari 265 negara Indonesia peringkat pertama
dengan 5.402.239 orang terkena dampaknya, Jepang (4.497.645 korban),
Bangladesh (1.598.546 korban), India (1.114.388 korban), dan Filipina
(894.848 korban). 2. Bencana alam tanah longsor; Dari 162 negara
Indonesia peringkat pertama dengan 197.372 orang terkena dampaknya,
India (180.254 korban), China (121.488 korban), Filipina (110.704
korban), dan Ethiopia (64.470 korban) 3. Bencana alam gempa bumi.
Dari 153 negara Indonesia meraih peringkat ketiga dengan 11.056.806
orang terkena dampaknya setelah Jepang (13.404.870) dan Filipina
(12.182.454). Dua peringkat di bawah Indonesia adalah China (8.139.068)
dan Taiwan masing-masing dengan 8.139.068 dan 6.625.479 korban. 4.
Bencana alam banjir; Dari 162 negara Indonesia berada diurutan ke-6
dengan 1.101.507 orang yang terkena dampaknya. Peringkat sebelumnya
berurutan diduduki oleh Bangladesh (19,279,960 korban), India
(15.859.640), China (3.972.502), Vietnam (3.403.041), dan Kamboja
(1.765.674).
Bencana alam murni
karena Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa seperti Gempa bumi, Tsunami dan
Gunung Meletus yang terjadi di Indonesia sebetulnya dapat dihindari.
Namun kenyataannya banyaknya korban manusia terjadi akibat manusia tidak
menggunakan pengetahuan dan pengalaman dan ketrampilannya. Oleh sebab
itu peranan pendidikan lingkungan untuk memberi bekal pengetahuan, sikap
dan perilaku manusia Indonesia terus dibutuhkan.
Model-Model Pendidikan Lingkungan Para hadirin yang saya muliakan
Mengacu
pendapat A I Akhmetova1,5, O M Kolomiyets2,5, M R Arpentieva3,5 and M G
Golubchikova4,5 (2020) bahwa pendidikan lingkungan adalah platform
dalam pengelolaan lingkungan. Model-model yang dapat diterapkan antara
lain : 1. Pemberian punish dan reward, 2. Pemberian Insentif dan
dis-insentif, 3.Pemberian materi pendidikan, percontohan, dan pelatihan,
4. Pengajuan gugatan keterwakilan.
Model-pertama
yaitu penerapan pendidikan lingkungan melalui pemberian punish dan
reward adalah upaya pemberian punish (hukuman) pada mereka yang lalai
dalam mengelola lingkungan sesuai peraturan yang berlaku. Contoh
penerapan model ini adalah pelarangan buang sampah di sungai seperti
gambar berikut
Gambar 5. Contoh Papan Pelarangan Buang Sampah beserta Sangsi Sumber : https://sda.pu.go.id/balai/bwssulawesi2. Diakses tanggal 12 Maret 2023
Berdasarkan
hasil observasi kami seperti gambar 7 di pantai Timur Surabaya,
nampaknya penegakan aturan dalam penguasaan lahan mangrove juga barang
yang tidak mudah.
Gambar 6. Papan Penguasaan Lahan di areal Mangrove Gununganyar (Foto diambil tanggal 1 Januari 2021)
Berdasarkan
gambar 6 ditemukannya papan penguasaan lahan di areal Mangrove
Gununganyar, maka gambar ini sebagai bukti bahwa telah terjadi berebutan
penguasaan di lahan mangrove tersebut. Kondisi ini sebagai peringatan
bahwa terjadinya degradasi lingkungan bukan semata disebabkan oleh
kondisi ekonomi atau terjadi pada masyarakat yang kurang mampu dari segi
ekonomi namun telah terjadi perebutan lahan mangrove pada mereka yang
dihipotesiskan kemampuan ekonomi tinggi, dan pengetahuannya tinggi pula. Oleh
sebab itu selain pelaksanaan penegakan aturan atau perundang-undangan
dalam pengelolaan ekosistem mangrove nasional yaitu sebagai berikut: 1)
UU No. 5 Tahun 1994, 2) Kepres No. 48 Tahun 1991, 3) Perpres No. 121
Tahun 2012, 4) Perpres No. 73 Tahun 2012, 5) Permen KP No. 24 Tahun
2013, 6) Permenko Perekonomian No. 4, maka melalui pendidikan lingkungan
diharapkan dapat menjadi triger atau pengungkit dalam mengembangkan
pengetahuan, merubah sikap dan perilaku manusia dalam mencapai kualitas
hidup yang dicita-citakan sesuai paradigma lingkungan yang baru. Nilai
pentingnya menjaga lingkungan mangrove dapat kita ketahui bahwa dalam
salah satu program Agenda para pemimpin G20 di Bali melakukan penanaman
mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura Ngurah Rai di Denpasar Bali.
Model-kedua
yaitu yaitu model insentif dan dis-insentif disebut juga pendekatan
ekonomi atau, bahwa siapa saja yang mengelola lingkungan hidup dengan
baik, maka mereka selayaknya diberikan insentif atau reward, namun bagi
mereka yang tidak berhasil mengelola lingkungan hidup dengan baik maka
mereka tidak diberikan reward atau insentif. Contoh implementasi model
pendidikan pengelolaan lingkungan hidup melalui pemberian insentif atau
reward adalah : Penerima Hadiah kalpataru, Program Green Campus, Program
Kalpataru, , Program Adipura, Program Surabaya Smarth City.
Program-program seperti dicontoh ini nampaknya perlu terus dipelihara
sustainableitasnya dan terus ditingkatkan kualitasnya. Menurut Otto
Sumarwoto ( 2004) bahwa model pemberian reward disebut juga sebagai
model pendekatan economic, sedangkan model pemberian punish disebut juga
model atur dan awasi atau model penegakan hukum.
Model ke-tiga
yaitu pendidikan lingkungan melalui pemberian materi pengetahuan,
percontohan, dan pelatihan. Pada model ini dilaksanakan di sekolah
maupun di luar sekolah. Contoh model ini antara program program Sekolah
Adiwiyata, pendidikan kader bencana, pelatihan penanaman mangrove
Model ke-empat
yaitu melakukan clas action, atau pada prinsipnya masyarakat diajarkan
didik untuk minta bantuan hukum mewakilkan kelompok. Mengacu UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan pula apabila
masyarakat kecil tidak mampu melawan kelompok masyarakat yang kuat maka
mereka berhak melakukan class action atau gugatan keterwakilan. Adapun
yang dimaksud class action adalah hak dari kelompok masyarakat yang
diwakilkan keapada orang lain untuk bertindak mewakili masyarakat dalam
jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta
hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau
perusakan .Contoh pelaksanaan class acion ini pernah dilakukan olen
masyarakat Porong untuk meminta ganti rugi atas pemilikan lahannya
akibat bencana Lumpur Lapindo.
EVALUASI MODEL PENDIDIKAN LINGKUNGAN Para Hadirin yang kami muliakan Berdasarkan
terdapatnya beberapa model-model pendidikan lingkungan yang telah di
uraikan maka dapat di evaluasi hasil dalam penerapannya. Pada penerapan
penegakan aturan atau hukum, dan pemberian insentif maka evaluasi hasil
yang nyata lebih cepat dilihat atau diperoleh apabila dibandingkan model
pendididikan lingkungan dengan memberi contoh, materi ataupun
pelatihan. Kondisi khusus pada permasalahan dalam upaya restorasi atau
perbaikan kondisi lingkungan yang telah rusak dan masyarakatnya susah
diatur maka model ini paling cocok apabila diterapkan peraturan dengan
tegas. Namun penerapan pendidikan lingkungan pada masyarakat yang
sudah maju peradapannya dan budayanya telah tinggi, maka model
pendidikan lingkungan dengan memberi pengetahuan, pelatihan dan
percotohan lingkungan akan lama meresap dan sukar untuk hilang. Berikut
ini salah satu contoh keberhasilan pendidikan lingkungan yang dapat
merubah dari manusia yang awalnya tidak ramah dengan lingkungan dan
cenderung mermusnakan habitat salah satu unsur lingkungan, namun
akhirnya akibat diberikan pendidikan lingkungan telah merubah sikap dan
perilakunya. Kisah Zulkarnaen seorang nelayan di Bengkulu, sejak
kecil pekerjaannya berburu telur dan penyu di lingkungan tempat
tinggalnya untuk diperjual belikan. Namun setelah dewasa, lebih kurang
17 tahun akibat medapat pendidikan lingkungan yang berisi materi
perlunya memelihara penyu, maka telah merubah sikap dan perilaku
Zulkarnaen. Zulkarnaen merasa terbebani jika anak cucunya nanti tidak
mengetahui indahnya penyu di lingkungannya. Oleh sebab itu dengan
keberhasilan perubahan pikirannya, sekarang Zulkarnaen bukan sebagai
pemburu penyu, namun dia sekarang sebagai penangkar penyu, dan sekaligus
penjaga habitat lingkungan penyu itu hidup.
(https://www.mongabay.co.id/2019/02/16/langkah-pasti-zulkarnedi-melestarikan-penyu-di-bengkulu/). Pada
rangkuman tentang model pendidikan lingkungan, maka apabila ada
pertanyaan, model pendidikan lingkungan yang mana yang paling baik ?
Maka jawaban singkatnya bahwa berkaitan obyek lingkungan bersifat multi
dimensi, maka pemilihan model pendidikan lingkungan dapat dilakukan
secara simultan dan terintegrasi diantara model-model yang ada.
PERANAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN Para Hadirin yang kami muliakan Mengacu
ranah pembelajaran menurut Bloom yang banyak digunakan di Indonesia,
nampaknya implementasi pencapaian ranah kognitif relative mudah kita
capai. Namun nampaknya pada mencapaian ranah afektif dan psikomotor
relative sulit pencapaianya. Berikut ini pengalaman kami yang
menunjukkan fenomena bahwa masyarakat sudah tahu dan mengerti tentang
kondisi lingkungannya yang pernah dilanda bencana dan sampai saat ini
lingkungannya tersebut tetap rentan terjadi bahaya bencana tsunami.
Namun pengalaman dan pengetahuan mereka belumlah cukup dapat atau
diikuti perubahan sikap dan perilakunya. Pengalaman penelitian dan
Pengabdian masyarakat kami di Desa Baureno-Kecamatan Jatisari Kabupaten
Mojokerto dengan Bapak Bambang Harianto, Bu Rindawati dan Bu Dian tahun
2022 adalah contoh pertama-yang menjukkan sulitnya merubah sikap dan
perilaku manusia dalam mengimplentasikan pengetahuan mereka tentang
sikap dan perilakunya terhadap bencana banjir bandang. Nampaknya
pengalaman warga Desa Baureno tersebut di lingkungannya yang pernah
mengalami banjir bandang tahun 2017 namun pengalaman tersebut hanya
sebatas pengetahuan. Mereka tetap tinggal di lingkungannya yang pernah
dilanda bencana banjir bandang. Mereka tetap bermukim di lingkungan yang
telah mengalami banjir bandang. Cara mereka untuk tetap bertahan hidup
dilingkungannya dengan jalan meninggikan pondasi rumah. Berdasarkan
hasil wawancara mendalam dengan warga yang pernah terlanda banjir
bandang diketahui bahwa mereka merasa aman apabila terjadi bencana
banjir bandang lagi. Selain mereka tidak peduli apakah akan ada banjir
bandang lagi apa tidak , ternyata mereka sebetulnya juga mengetahui
bahwa lokasi pemukimannya telah melanggar garis sepadan sungai. Pada
waktu itu kami mencoba menunjukkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2015,(Kementrian PUPR 2015) yaitu
pemukimannya berada pada jarak kurang dari 3 meter dihitung garis
sepadan sungai. Mereka mengetahui bahwa pemukimannya itu juga melanggar
peraturan. Itulah kesulitan kita jika dalam memberikan pengetahuan
lingkungan berhadapan orang yang “nekat”.
Para hadirin yang kami muliakan Contoh
implementasikan kedua ini juga menunjukkan betapa sulitnya merubah
sikap dan perilku manusia. Bahkan kenyataan/pengalaman bencana yang
telah dialami manusia belum tentu dapat pula merubah sikap dan perilaku
manusia. Berdasarkan penelitian saya bersama Prof Warsono berikut
ini di Pantai Pancer- dan Pantai Lampon Pesanggrahan– Banyuwangi tahun
2000 tentang Strategi adaptasi lingkungan penduduk di pantai Selatan
Jawa Timur pasca bencana Tsunami tahun 1994 menunjukkan fakta bahwa
pengalaman dan pengetahuan tentang bencana yang dialami penduduk
ternyata belum dapat merubah sikap dan perilaku mereka untuk beradaptasi
mencari lingkungan yang lebih aman. Bencana Tsunami tahun 1994 itu
telah mengakibatkan 377 orang meninggal dunia,15 orang hilang, 789
orang menderita luka-luka di Pantai Selatan Jawa Timur, tepatnya di
Pantai Lampon dan Pantai Pancer. Sementara itu terjadi kerusakan rumah
sebanyak 992, hilangnya perahu sebanyak 340 buah. Mereka telah banyak
mendapat penyuluhan-pelatihan bahwa lingkungannya rentan rehadap
bencana tsunami, namun masyarakat di Pantai Pancer memilih kembali
bermukim di lingkungan yang dahulu menelan korban saudaranya di tahun
1994 itu.
Gambar 7. Sketsa dan Profil Melintang Pemukiman di Teluk Pancer
Bukti
belum adanya perubahan sikap dan perilaku tersebut dikuatkan hasil
wawancara dan observasi yang telah kami lakukan dengan Penduduk di
Pantai Pancer dan Pantai Lampon. Berdasarkan observasi dan wawancara
dengan penduduk, kami ketahui bahwa rumah yang dibangun pemerintah di
lokasi aman tsunami tidak mereka tempati atau huni, mereka sekarang
kembali lagi ke lokasi pinggir pantai yang pernah merenggut nyawa
saudaranya dari tsunami. Kemudian berdasarkan wawancara terstruktur
untuk memperoleh alasan jawaban mengapa mereka kembali di lingkungan
yang telah diketahui rentan tsunami ? Jawaban mereka mengatakan bahwa
rezeky, jodoh dan maut adalah kuasa Tuhan. Demikian itulah cerminan
bahwa pengetahuan tentang lingkungan telah diperoleh, namun untuk
merubah sikap dan perilakunya yang berdasarkan pengetahuannya bukanlah
barang yang mudah. Kondisi pada Penduduk di Pantai Pancer sangat
kotradiksi dengan penduduk di Pantai Lampon-Pesanggrahan. Pada penduduk
di Pantai Lampon-Pesanggarahan yang sama-sama di lingkungannya pernah
mengalami bencana tsunami tahun 1994, dan sama-sama keluarganya menjadi
korban bencana tersebut. Namun pada penduduk di Pantai
Lampon-Pesanggrahan bahwa bencana tsunami telah menjadikan pengalaman
dan pengetahuannya dan sekaligus mereka telah bersikap dan berperilaku
mencari tempat hunian yang lebih aman dari bencana tsunami.
Gambar 8. Sketsa dan Pofil Melintang Pantai Lampon di Kecamatan Pesanggrahan
Kondisi
pada masyarakat di Teluk Lampon dan Masyarakat di Teluk Pancer dalam
meresponse kejadian Tsunami sebagai stressor lingkungan yang berbeda.
Penduduk Pantai Lampon trauma terhadap stressor “tsunami” yang mungkin
akan terjadi, namun pada masyarakat Teluk Pancer stressor “tsunami”
diresponse sebagai takdir Tuhan Yang Maha Esa. Itulah sebagai bukti
bahwa pengalaman kejadian yang dialami mestinya menjadi guru yang utama,
namun nampaknya walaupun pengalaman atau kejadian telah mereka alami
namun hal ini belumlah cukup untuk dapat merubah sikap dan perilakunya. Keadaan
yang terjadi sebagai ciri masyarakat Pantai Selatan bahwa pengetahuan
dan pengalaman menghadapi bencana Tsunami pada masyarakat pantai Selatan
Jawa tidak menjadi bekal untuk mitigasi. Hal ini dikarenakan
terjadinya “distorsi pengetahuan dan pengalaman nyata yang pernah
dialami ” oleh adanya kepercayaan keberadaan penguasa laut Selatan. Berdasarkan
hasil penelitian kami, selain di Pantai Pancer dan Pantai Lampon, maka
hasil penelitian kami tentang Mitigasi Tsunami dengan System Informasi
Geografis di Pantai Munjungan-Trenggalek dengan team Geografi Tahun 2017
dengan hasil kita buatkan peta jalur evakuasi dan daerah sebaran bahaya
Tsunami. Selain itu kami lakukan wawancara dengan masyarakat setempat
di Kawasan yang rentan Tsunami untuk mengetahu persepsi kejadian apabila
di daerahnya terjadi tsunami. Berdasarkan hasil wawancara diketahui
bahwa masyarakat setempat mempunyai persepsi, mereka akan tetap aman
di lokasi pemukimannya apabila terjadi bencana tsunami. Sebab salah satu
persepsinya selain tsunami belum pernah terjadi di lingkungannya alasan
berikutnya karena merekan akan dilindungai oleh penguasa Laut Selatan
(Ketut Prasetyo & Wiwik Sri Utami, 2022 ) Dengan demikian dapat
kita identifikasi bahwa untuk merubah sikap dan perilaku dalam mitigasi
bencana pada lokus tertentu masih “ter-distorsi” adanya kepercayaan
masyarakat setempat. Oleh sebab itu jika terjadi bencana, tidak heran
di lokus sama apabila terjadi bencana dan akan terus memakan korban
jiwa, maka dalam relung pendidikan lingkungan adalah masyarakat baru
sebatas tahu, namun pengalamannya belum merubah sikap dan perilaku untuk
menghindar diri dari bencana.
“Tilly Smith” Yang Menginspirasi Pendidikan Lingkungan Para hadirin yang kami muliakan Sejalan
dengan peristiwa bencana tsunami dan posisi pendidikan lingkungan, maka
jika kita mengenang Tilly Smith, seorang anak kecil yang kala itu baru
berusia 10 tahun. Dia seorang pelajar klas IV setingkat SD di Inggris,
yang kala itu dapat menyelamatkan keluarganya dan ratusan pengunjung
dari bencana Tsunami di Pantai Maikhao, Phuker-Thailand, Bencana Tsunami
yang melanda Pantai Maikhao, Pheker-Thailand tersebut adalah imbas
kejadian tsunami di Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004.
Pada saat kejadian tsunami, Telly Smith yang sedang bermain di pantai,
dia mengenali tanda-tanda akan terjadinya tsunami. Telly Smith berteriak
memberi tahu kepada keluarganya dan orang-orang di lingkungan pantai
Maikhao bahwa akan terjadi tsunami. Himbauan dan teriakan Telly Smith
itulah yang menyelamat keluarga dan masyarakat di Pantai
Maikhao-Thailand Memperhatikan pengetahuan Telly Smith tentang
kejadian bencana tsunami seperti itu, nampaknya apabila kita gali,
ternyata Telly Smith tidak pernah mengalami tsunami di negaranya. Namun
berkat pendidikan lingkungan di sekolahnya, maka pengetahuan Telly
Smith tentang tsunami bermanfaat untuk orang banyak. Berdasarkan
sejarah kejadiannya bencana Tsumani di Inggris diketahui bahwa pertama
kali terjadi pada 100 tahun yang lalu. Inggris terkena dampak Tsunami
yang bersumber di Jepang (History Of Tsunami: The Word And The Wave.
https://www.wrvo.org › history-of-tsunami-the-word-an),